Bumimu
atau Anakmu
“Pemirsa, saya
Devi Mariyana melaporkan kasus pembunuhan bayi yang akhir-akhir ini sangat
meresahkan warga. Setelah pembunuhan di Rumah Sakit Garuda, pembunuhan
dilakukan di Rumah Sakit Merpati Jakarta yang terjadi pada tanggal 5 November
2012 dini hari. Pembunuhan dilakukan pada 30 bayi yang berada pada ruang bayi di
Rumah Sakit Merpati. Sampai sekarang motif pembunuhan ini belum diketahui,
bahkan suster yang dikabarkan tergeletak karena obat bius pun tidak melihat
wajah sang pelaku,” setelah mendengar berita tersebut, seseorang yang sedang
duduk menyeduh kopi hangatnya itu mematikan televisinya. Dan berkata pelan “Maaf,
aku melakukan ini demi anak kalian”.
********************
Di pagi hari
yang buruk bahkan semakin parah. Langit semakin hitam, bukan karena awan
mendung dan bukan karena gerhana matahari, melainkan karena polusi udara yang
sudah sangat merajalela. Penghuni bumi tidak peduli, bahkan tidak mencegah ataupun
menanggulanginya. Mereka hanya peduli pada diri mereka sendiri, menutupi
pernafasannya dengan masker dan menciptakan alat baru untuk menghindar dari
polusi yang tidak akan merubah bumi ini menjadi baik. Mereka juga tidak
bersyukur karena air belum sepenuhnya tercemar, mereka tetap dengan tanpa dosa
membuang limbah pabrik ke dalam sungai. Aku heran, Apakah mereka tidak pernah berfikir?
Jika nanti air tidak ada, dengan apa kita mandi? Dengan apa kita mencuci?
Dengan apa kita memasak? Dengan apa kita minum? Bahkan dengan apa tumbuhan
berfotosintesis menghasilkan oksigen untuk kita hirup bersama?. Seperempat bumi
ini sudah tidak memiliki air bersih, mereka minum dengan air yang sudah
tercampur bahan kimia limbah. Aku sangat bersyukur, aku berada pada daerah yang
masih mengandung air bersih, namun aku tidak yakin apakah air bersih ini akan
tetap bersih seperti ini.
“Jika kita
bersatu, bertekad, dan yakin bahwa kita bisa melakukannya. Saya menjamin 99%
kita akan berhasil mengurangi polusi udara, bahkan menghilangkan polusi udara
dari bumi ini. Merubah kembali bumi ini menjadi bumi kita yang dulu, bumi yang
indah tanpa polusi apapun. Mari kita berkerjasama_” belum sempat kata-kataku
selesai, seorang lelaki berkumis putih menyela dan diikuti penonton lainnya.
“Tidak mungkin!”. “Ya, itu mustahil!”. “Omong kosong, itu hanya membuang-buang
waktu kita”. Aku berjalan dengan penuh kekecewaan, lagi-lagi terjadi hal
seperti ini. Hari ini sudah 25 tempat yang aku kunjungi, namun hasilnya sama
saja. Semua membantah dan tidak ada yang mau berkerja sama denganku. Terkadang
mereka juga mengejekku dan berkata kasar kepadaku. Aku heran, mengapa mereka
tidak percaya kepadaku? ini juga demi kebaikan mereka. Mungkin sebaiknya aku
menyerah.
Aku mengmbil
sepedaku. Aku sengaja mengendarai sepeda, transportasi yang tidak mengeluarkan
karbon monoksida. Walau aku tahu, itu hanya mengurangi sedikit polusi melihat lebih
dari sebagian orang-orang di bumi ini mengendarai transportasi berpolusi. Ya, lebih
baik sedikit daripada tidak sama sekali. Belum sampai setengah jam perjalanan,
aku menghentikan sepedaku dan menyenderkannya ke pohon cemara. Bukan berarti
aku sudah sampai rumah, namun aku menghampiri seorang anak perempuan yang menjadi fokus perhatianku. Ia sedang
duduk di depan pagar putih yang kemungkinan itu adalah pagar rumahnya. Ia sedang
menangis, itu sebabnya aku menghampirinya. “Adik cantik kenapa menangis?” Aku
bertanya dengan seramah dan sebaik mungkin, agar tidak melintas sedikitpun dipikiran
anak itu bahwa aku adalah bapak-bapak genit yang bekerja sebagai penculik anak.
Anak itu mengangkat kepalanya yang telah dibasahi oleh air matanya, Ia terdiam
sejenak dan menjawab pertanyaanku, “Cika takut Paman,” Rupanya Anak itu bernama
Cika. Aku tersenyum ketika dia memanggilku paman, entah karena apa? mungkin
karena aku sedikit bangga wajahku tampak lebih muda dari ayahnya, sehingga Anak
itu memanggilku paman. “Cika takut adik Cika dibunuh sama orang jahat yang
diberita-berita” kata Anak itu melanjutkan. Aku terdiam sesaat. “Paman kenapa
diam?” kata Cika dengan wajah polosnya. Aku merubah posisiku mendekat dan duduk
di sebelah anak itu, “Cika sayang sama adiknya?” kataku. “Sayang banget, Paman”
katanya singkat, masih tetap sambil menangis. “Pasti Cika ingin yang terbaik
buat adiknya?” kataku ramah. Cika mengangguk bersemangat. “Kalau begitu, Cika
berhenti menangis ya! terus jagain adiknya” kataku sambil tersenyum. Cika
menghapus air matanya, kemudian Ia bertanya “Paman lagi sedih ya?”. Aku
terkejut, ternyata aku tidak bisa menyembunyikan kesedihanku ini. “Iya, Paman
sedih karena Paman tidak bisa mengajak orang-orang untuk berbuat baik” kataku.
Aku heran kenapa aku menceritakan ini kepadanya. “Memangnya Paman mengajak
orang-orang itu untuk apa?” tanyanya penasaran. Aku bingung, apakah aku akan
memberitahunya. Tapi aku sudah terlanjur mengatakannya tadi di awal. Lagipula
tidak ada salahnya aku memberitahunya, “Untuk mengubah bumi ini menjadi bumi
yang tidak tercemar,” aku menghembuskan nafas sejenak “Tapi Paman sudah
menyerah, tidak ada yang mau mendengarkan Paman”. Dia menatapku iba “Paman gak
boleh menyerah! Paman pasti bisa mengajak mereka” katanya bersemangat. Aku
tersenyum. Cika kemudian berdiri dan tersenyum lebar “Sudah ya Paman, takut
Mama nyariin Cika. Terimakasih ya Paman!”. “Iya sama-sama Cika. Jangan lupa
ganti maskernya ya! Sudah basah semua” kataku tersenyum ramah. “Iya Paman” kata
Cika sambil berlari menuju rumahnya. Setelah wajah Cika sudah tidak terlihat
lagi, aku mengambil sepedaku dan mengayuhnya menuju rumah.
********************
Pukul sebelas
malam, ketika penghuni bumi sedang berkunjung ke mimpi mereka. Begitu pula
orang-orang disekitarku yang tampaknya sudah tertidur. Aku di depan rumah
berpagar putih, dengan tangan membawa koper kecil berisi alat-alatku. Ya, untuk
melakukan suatu kejahatan yang sangat mulia.
Berbeda seperti
sebelumnya, malam ini aku hanya membunuh seorang bayi. Bayi yang sangat
dicintai kakaknya. Mungkin ini terdengar sangat kejam, tapi aku mempunyai
alasan tepat yang bisa membungkam mereka yang mengira tindakanku ini kejam. Aku
sudah sampai di tempat bayi itu berada. Aku segera menggendong dan bergegas membawa bayi tersebut keluar rumah
dan segera membunuhnya sebelum penghuni rumah ini terbangun dan sadar bahwa
bayi tersebut telah menghilang, lebih tepatnya terbunuh. Aku meletakannya bayi
tersebut di belakang rumah mereka dan mengambil jarum suntik di dalam koper
kecilku yang sudah dipastikan ampuh untuk membunuh makhluk hidup dalam hitungan
detik. Tiba-tiba terdengar suara dari
belakangku “Paman.. tenyata yang ada di berita itu Paman? yang bunuh semua bayi
itu Paman? kenapa Paman jahat?” suara tersebut terdengar gemetar dan sedikit
kecewa. Belum sempat aku menyuntik lengan bayi tersebut, aku berbalik dan
terkejut melihat Cika sudah dibelakangku sambil menangis. “Cika kenapa belum
tidur?” kataku gugup. “Cika kan jagain adik terus” katanya sambil memeluk erat
boneka beruangnya yang sudah basah akibat air matanya. Aku tertegun, ternyata
anak itu mendengarkan omonganku tadi siang. Aku menghembuskan nafas dan
berbicara “Cika katanya mau yang terbaik buat adik? ini yang terbaik buat adik
Cika..” kataku tersenyum tulus. “tapi.. tapi kenapa Paman ingin membunuh adik
Cika?” katanya masih tetap dengan suara gemetar. Aku melangkah mendekat untuk
menghapus air matanya, namun Cika mundur ketakutan. Akhirnya aku berhenti
melangkah dan tersenyum “Karena Paman tidak mau adik Cika maupun bayi yang lain
dewasa menderita karena merasakan bumi yang sudah tidak memiliki air dan udara
bersih. Cika tidak mau kan adik Cika menderita?” kataku mencoba tersenyum.
“Tapi.. tapi Paman kan tidak harus sampai melakukan ini! Paman kan bisa
mencegah bumi ini biar tidak sampai rusak” kata Cika. “Tidak ada yang mau
membantu Paman” kataku menenunduk sedih. “Cika mau kok!” katanya dengan penuh
semangat. “Sudahlah Cika, bawa adikmu ke dalam. Paman tidak akan melakukan
pembunuhan bayi lagi” kataku dan beranjak pergi. Aku tidak berbohong. Aku akan
menghentikan pembunuhan bayi ini. Lagipula aku tidak tahu, apakah aku masih
cukup kuat melihat bayi tak berdosa mati di depan mataku.
********************
2 bulan
kemudian. Kerusakan bumi bertambah, banyak wabah penyakit bahkan keracunan
makanan akibat ulah manusia yang tak berperikemanusiaan. Aku lelah, hanya aku
yang peduli, hanya aku yang berpikir tentang masa depan. Entahlah… aku benci
dengan semua ini.
“Toktoktok” aku
segera membukakan pintu dan terkejut melihat Cika berada di depan pintu rumahku.
“Pamaaaan !” teriaknya dan berlari memelukku. “Paman, Cika menjelaskan semua
yang Paman ceritakan kepada Ayah dan Ibu Cika. Kemudian mereka menjelaskan apa
yang Cika omongin kepada teman-teman-teman Ayah dan Ibu Cika. Cika juga
menjelaskan ke teman-teman Cika dan teman-teman Cika menjelaskan ke orang tua
mereka! Mereka bersedia membantu Paman!”. Aku bingung, sungguh bingung. Aku
menengok keluar rumah dan terkejut melihat orang-orang dengan wajah siap
mendengarkan kata-kataku, dan siap untuk membantuku merubah bumi ini menjadi
semula. Tidak sadar aku meneteskan air mataku. Aku senang, aku sangat senang,
bahkan karena aku terlalu senang sehingga aku meneteskan air mata haruku,
mungkin ini terasa aneh karena beberapa menit yang lalu aku dikelilingi oleh
rasa kebencian, namun entah pada saat ini, hari yang sangat aku nanti hingga
aku tidak bisa mengucapkan kata-kata selain “Terimakasih semuaa” dan kemudian
mereka berteriak “UNTUK BUMI KITA DAN UNTUK ANAK KITA”. Aku tersenyum sangat
bahagia. “Lalu ajari kepada kami! Beritahukan kepada kami apa yang bisa kami
lakukan untuk merubah bumi ini menjadi semula!” Kata seseorang bersemangat yang
mungkin itu Ayah Cika, karena wajah Cika begitu mirip dengannya. Hahaha, ternyata
aku salah, Ayah Cika tampak lebih muda dariku. Bahkan tampak jauh lebih muda
dariku. Lantas mengapa Cika memanggilku paman? ah.. sudahlah itu tidak penting.
Aku menjelaskan
bagaimana tahap-tahap untuk merubah bumi ini menjadi semula. Bumi yang segar
dan bebas dari pencemaran air maupun udara. Dan kami mulai melakukan semuanya
sedikit demi sedikit secara bersama-sama. Aku yakin bumi ini akan berubah
menjadi semula. BUMI YANG INDAH.
Tamat
Karya: Dewi Nur Alifah th 2012