Cerpen fiksi ~pemula

Tersenyum Bersama Air Mata

            Aku Elena Mentari Kejora, orang-orang biasa memanggilku Elen. Aku bersekolah di SMP Negri  Mahakarya Jakarta bersama sahabatku, Andreas Yoga Wijaya. Awalnya sahabatku hanyalah Andre, namun kini bertambah satu menjadi dua, dia adalah Rena Silvia Langit yang belum lama menjadi penghuni sekolah ini. Semula Rena adalah gadis apatis yang tidak pernah berbicara kepada teman-temannya termasuk aku, hingga sekarang aku masih belum tau apa sebabnya. Namun sejak kejadian itu Rena sudah tidak menjadi manusia apatis lagi. Dan sejak saat itu juga, Ia sudah menjadi bagian dari kami, aku dan Andre. Rena mempunyai kebiasaan yang aneh, Ia selalu meneteskan air matanya ketika Ia sedang gembira, tersenyum, dan tertawa. Aku pernah menanyakan apa sebabnya Ia menangis, tetapi Rena tidak mau menjawabnya. Dan pada akhirnya, aku dan teman-teman pun sudah menganggapnya wajar jika Rena tertawa sambil meneteskan air mata, walau kami tidak tau apa sebabnya.
**********
          “Kringggg” bunyi bel masuk sekolahku SMP Negri  Mahakarya Jakarta. Murid-murid segera masuk ke kelas dan bergegas duduk tenang di tempat duduknya masing-masing. Namun tidak denganku, aku masih sibuk dengan PR matematikaku yang tidak kukerjakan. Bukan berarti aku malas, aku sudah berusaha untuk mengerjakannya dengan sekuat tenagaku. Namun hasilnya nihil, bagiku matematika itu benar-benar sangat sulit.
          “Len, kayaknya kelas ini bakal kedatangan murid baru” kata sahabatku sambil merapikan tempat duduknya. Sahabatku ini berbadan tinggi dan mempunyai lesung di kedua pipinya. Ia sudah menjadi sahabatku sejak umurku 7 tahun, Ia bernama Andre.
          “Tau dari mana lo, Ndre?” jawabku yang masih sibuk menyalin PR matematika Andre. Aku berkulit putih, dan dalam ukuran cewek, aku termasuk tinggi. Rambutku selalu dikucir kuda. Ya, seperti yang kukatakan di awal aku memang paling nyerah kalau berhubungan dengan matematika, dan memang dari kecil aku sangat tidak suka matematika, entah karena apa aku sangat membenci matematika.
          “ Tuh” kata sahabatku sambil menunjuk ke arah pintu kelas. Aku pun segera menutup buku matematikaku dan memasukannya ke laci meja.
          “Anak-anak, perkenalkan ini teman baru kalian” kata Bu Sisil memperkenalkan murid baru itu. Seorang gadis berkacamata yang memiliki rambut lurus sebahu, memakai pakaian rapi, dengan tas ransel putih dipunggungnya.
          “Nama saya Rena Silvia langit, saya pindahan dari Bandung” katanya dengan raut wajah yang datar dan tidak ada seulas senyum pun saat memperkenalkan diri.
          Bu Sisil pun mempersilahkan Rena duduk disampingku yang kebetulan teman sebangkuku tidak berangkat sekolah karena sakit. “Gue Elena, biasa dipanggil Elen” kataku tersenyum sambil mengulurkan tangan kananku. Ia tidak membalas senyuman dan  uluran tanganku. Ia hanya melirik uluran tanganku dan kembali menatap ke depan. aku tidak menjadikannya masalah, aku menurunkan tanganku dan kembali menatap ke depan.
**********
          “Len, si anak baru tadi siapa namanya? gue lupa” Tanya Andre mengingat-ngingat, seakan ingin memberitahuku sesuatu tentang anak baru itu.
          Aku menelan potongan baksoku yang aku pesan di Warung Bu Bejo langganan kami. “Rena maksud lo? kenapa?” kataku sambil memotong bakso.
          Andre memainkan sedotan di dalam es jeruknya ”gak papa sih, kayaknya orangnya sombong. Tadi aja uluran tangan lo nggak dibales sama dia, senyum aja enggak” kata Andre masih tetap memainkan sedotannya.
          “Kok lo tau sih? lo merhatiin gue ya? jangan-jangan lo suka ya sama gue.. Awas lo ya kalau suka sama gue, lo bakal gue ketekin seumur hidup” kataku dengan ancaman candaku.
          “Hah? enak aja, gue gak suka sama cewek yang keteknya bau jengkol” cibir Andre “Lagian, gimana gue nggak liat elo kalau tempat duduk lo tepat di depan muka gue pas” lanjutnya tampak sedikit kesal. Sebenarnya aku tahu kalau bangku Andre tepat di belakangku. Tapi aku sengaja untuk mengalihkan pembicaraan karena aku tidak tahu harus menjawab apa. Bukan berarti aku sedang menyembunyikan sesuatu.  Aku memang tidak tahu apa-apa.
          “hahahaha santai aja lagi, gue cuma bercanda. Kayak elo nggak kenal gue aja” kataku sambil mengacak-acak rambut Andre. Andre ikut tertawa.
          Setelah mengahabiskan makanan, kami membayar dan menuju tempat parkir untuk mengambil sepeda dan bergegas pulang ke rumah. Rumah kami saling berdekatan, jarak rumah Andre  hanya terhalang 5 blok dari rumahku, oleh karena itu kami selalu pulang bersama sama.
**********
          Aku dan Rena berjalan di koridor sekolah dengan membawa alat-alat batik ditangannya. “Dasar Bu Tuti, kenapa setiap selesai pelajarannya, Ia selalu menyuruh muridnya untuk mengembalikan alat-alat batik ini ke gudang. Kenapa yang mengembalikan alat-alat itu nggak Bu Tuti sendiri, Bu Tuti kan juga punya tangan punya kaki!. Huuuuh.. sebel.. Iya nggak Ren?”. Bu Tuti adalah guru seni budaya kami, yang selalu menyuruh muridnya untuk mengembalikan alat batiknya di gudang sekolah. Kebetulan aku dan Renalah yang sekarang disuruh Bu Tuti untuk membawakan alat-alat batiknya.
          Seperti biasa Rena tidak menjawab dan merespon pertanyaanku, bahkan menengok pun tidak Ia lakukan. Rena tetap diam dan melangkahkan kakinya seperti sebelumnya.
          “Lo kenapa sih? Lo marah ya sama gue? dari kemarin sampai sekarang setiap gue nanya, lo gak pernah jawab pertanyaan gue. Kayaknya gue gak ngapa-ngapain elo deh, kenapa sih?” Tanyaku penasaran tapi masih tetap ramah sambil menggaruk garukkan rambutku yang tidak gatal.
          Rena menengok ke arahku dan kembali menghadap ke depan. Aku hanya mengangkat bahu pasrah karena Rena tidak merespon semua perkataanku.
**********
          Pada saat itu, sekolah kami mengadakan acara perayaan ultahnya yang ke 60. Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap kelas disediakan 1 stand dan kami harus mengisinya dengan suatu acara. Bu Citra wali kelas kami menunjuk Rena untuk menjadi ketua acara tersebut. Seisi kelas termasuk aku menarik nafas lega karena bebas tidak terpilih menjadi ketua. Namun pada saat itu aku heran karena Renalah yang terpilih. Aku juga berfikir, bagaimana dia mengkoordinasi kami jika Rena tipe orang yang tidak pernah berbicara ataupun mengajak kami bicara. Bukan berarti aku meremehkannya, tapi aku hanya khawatir.
           “Rena, Ibu mohon bantuan kamu untuk memimpin teman-teman kamu membuat acara ini. Dan Ibu minta besok pagi laporan acara stand kalian harus ada di meja Ibu” kata bu Citra. Rena masih tetap dengan muka datarnya, seakan tidak mendengarkan apa yang Bu Citra telah katakan. Rena hanya menjawab “Baik bu”.
          “Kriiiiiiingg” Bel menjerit menandakan waktu sekolah telah usai. Murid-murid SMP Negri  Mahakarya termasuk aku memasukkan barang-barangnya ke dalam tas dan bergegas keluar kelas menuju rumahnya masing-masing.
          Namun di kelas 3-F yaitu kelasku,  masih tersisa satu orang murid yang sedang berbicara dengan seseorang lewat HPnya, dia adalah Rena. “Pak Dir duluan aja, Rena masih lama di sekolah..” Ucap Rena lewat HP nya yang sepertinya berbicara kepada sopirnya. Aku tidak tau apa jawaban dari seberang telepon, namun Rena menjawab “Ntar kalau Rena sudah selesai, Rena pasti telpon Pak Dir. Nggak usah khawatir Pak Dir… Rena sudah besar, sudah bisa jaga diri” mungkin sopirnya itu bernama Pak Dir, dan sepertinya Ia sangat sayang terhadap Rena. Rena menjawab lagi “Iya Pak Dir, terimakasih” ucap Rena. Dari perkataannya Ia sepertinya diizinkan berlama-lama di sekolah oleh Pak Dir yang Ia sebut-sebut tadi. Ia menutup HPnya dan mengeluarkan laptopnya.
          Kali ini aku menghiraukannya, aku sudah cukup jahat menguping pembicaraannya tadi, lagian itu bukan urusanku. Aku bergegas menyusul Andre ke lapangan basket, bukan berarti aku anak basket yang bisa memasukkan bola ke dalam ring berkali kali. Aku hanya menemani Andre latihan basket seperti biasanya.
**********
          Aku duduk dipinggir lapangan basket sambil memandang Andre bermain basket “Ndre, kenapa sih elo jago apa aja.. terus kenapa gue gak jago apa-apa?” Aku heran, kenapa dia jago dalam semua bidang. Olahraga, Andre bisa.  Pelajaran dia juga bisa.
          Andre tertawa, Ia lalu berkata kepadaku sambil memasukkan bola kedalam ring basket “ Emangnya kenapa kalau gue jago, dan elo nggak jago?” ucapnya sambil mengangkat alis menahan tawa.
          Aku sedikit kesal dengan jawabannya “gue kan lahir satu jam setelah elo lahir, seharusnya kepintaran lo nular ke gue”
          “Gak ada hubungannya tau” kata Andre sambil menyentuhkan satu jarinya di kepalaku. “Ayo pulang” ajaknya. Aku mengikutinya di belakang.
          Aku tiba-tiba teringat kalau kunci rumahku tertinggal dikelas tepatnya di laci meja. “Ndre, lo dulan aja gih.. kunci rumah gue tertinggal di kelas”. “Kebiasaan deh, Gue ngikut” pinta Andre.
          Di kelas, ternyata Rena masih duduk dibangkunya dan masih sibuk dengan laptopnya. “Hai, kunci gue ketinggalan” aku sengaja berkata seperti itu karena aku nggak mau Rena menuduhku sebagai seorang penguntit. Aku bergegas menggambil kunci rumahku dan segera keluar kelas. Namun ketika aku hendak keluar, wajah Rena memucat dan tiba-tiba tergeletak di atas kursi. Aku terkejut dan bergegas menghampiri Rena “Rena, elo nggak apa-apa? Gue anterin elo ke rumah sakit ya?” kataku panik. “Jangan” kata Rena lirih dan kemudian Ia sudah tidak sadarkan diri. Aku segera meminta bantuan Andre untuk mengendong Rena ke UKS, sedangkan aku membawakan laptopnya, barangnya, dan juga tasnya.
          Rena masih tertidur di tempat tidur UKS, sedangkan Andre mencari makanan untuk Rena selagi Ia tidur, barangkali Rena belum makan sejak tadi pagi sehingga membuatnya pingsan seperti ini. Aku tak sengaja melihat layar laptop Rena, dan ternyata Ia berniat mengerjakan proposal acara kelas ini sendirian. Sungguh bodoh dirinya, seharusnya dia meminta bantuanku atau Andre atau teman-teman yang lainnya. Lebih baik aku menyelesaikan proposal ini segera, tidak ada salahnya aku membantunya.
          “Elen, kau sedang apa?” Rena terbangun dari tidurnya. “Elo udah bangun? Bentar lagi Andre bawa makanan buat elo, pasti elo belum makan sejak tadi pagi?” Rautnya bingung seperti menyembunyikan sesuatu. “eh, emh iya. Kau sedang apa dengan laptopku?” Ia mengulangi lagi pertanyaannya. Aku menjawab “menyelesaikan kewajiban bersama” kataku dan kembali lagi melanjutkan mengetik. Ia kemudian tersenyum sambil meneteskan air mata, “lo kenapa?” tanyaku heran, Rena masih tersenyum sambil meneteskan air matanya. Dan kemudian Ia menjawab dengan kata kata yang tidak kuduga “Please jangan tanyakan hal ini kepadaku, aku tidak mau menjawabnya.”
**********
          Ya, kejadian inilah yang membuat Rena sudah tidak menjadi apatis, dan kejadian ini pula yang membuatnya menjadi sahabatku dan Andre. Dan kami kelas 3-F  memenangkan juara ‘Stand Terlaris dan Terbaik’. Ternyata pihak sekolah merencanakan lomba ini diam-diam agar para murid tidak mengikuti acara tersebut dengan niat mendapatkan hadiah.
            Hari terlewat seperti biasa.. kami bertiga tertawa bersama, bercanda bersama, pergi bersama, dan banyak lagi. Rena juga seperti biasa, selalu meneteskan air mata ketika kami bersama dan wajah Rena sering pucat dan selalu minta izin ke kamar mandi, tapi kami tetap diam karena kami tahu pasti Rena tidak akan menjawabnya.
            Tepat dua bulan Ia menjadi murid di sekolah kami , Rena tidak pernah berangkat sekolah lagi. Kami sangat khawatir terhadapnya, kami sudah mengunjungi rumahnya tetapi Rena tidak ada di sana. Dan pada akhirnya, kemarin siang tepat sehari sebelum ulang tahunku dan Andre,  kami mendapat kabar dari Bu Citra bahwa Rena Silvia Langit telah pergi, pergi selama-lamanya dari alam ini dan kami semua. Ternyata  Ia terkena kanker serviks sejak Ia berumur 10 tahun. Aku terkejut, kenapa Ia tidak bilang kepada kami sahabatnya?. Kenapa Ia pergi begitu saja?. Aku menangis dan bersedih hingga hari ini, seharusnya hari ini kami bertiga bersenang-senang merayakan ulang tahunku dan Andre bersama-sama. Andre saat ini berada disebelahku, mengusap-usap rambutku dengan lembut dan menghapus air mataku.
            “Tingtong, tingtong” bel pintu rumahku berbunyi, aku dan Andre segera membukakan pintu. Ternyata tamu tersebut adalah Pak Dirga. Dan kami pun menyuruhnya masuk “Pak Dir, silahkan duduk Pak” kata Andre mewakilkanku, aku sudah tidak sanggup berbicara. Karena jika aku berbicara, air mataku pasti akan keluar kembali.
            “Iya dik” Pak Dirga kemudian duduk, seorang pria separuh baya dengan kumis putih di atas bibirnya dan sedikit keriput di pipinya. Ketika kami bermain ke rumah Rena, kami selalu menjumpai Pak Dirga yang sedang mencuci mobil. Pak Dirga menarik nafas terlebih dahulu sebelum Ia memulai ceritanya, “ Sebelum Non Rena pergi, Non Rena menitipkan surat ini kepada bapak. Non Rena berpesan, katanya jika Ia sudah tidak ada di alam ini sebelum ulang tahun kalian berdua, bapak harus menyerahkan surat ini ke kalian tepat pada saat kalian berulang tahun. Ini Surat untuk kalian berdua” surat itu berwarna pink muda dengan gambar tiga manusia yang sedang bergandeng tangan. Kami menerimanya dan kemudian Pak Dir kembali pulang. Kami membuka surat Rena dan segera membacanya.
Untuk Sahabatku Rena dan Andre

          Mungkin saat kalian membaca suratku ini, aku sudah nggak ada di sisi kalian.. Kalian jangan sedih ya, kalian juga nggak boleh nangis terutama kamu Elen!  Jangan nagis ya..
Bodoh kamu Rena, kenapa kamu selalu bodoh.. air mataku menetes dan melanjutkan membacanya.
     O iya, selamat ulang tahun ya kedua sahabatku ! Semoga panjang umur dan bahagia selalu.. mungkin kalau aku masih disana, aku bakal nyanyiin kalian lagu ‘happy birthday’ dengan petikan gitarku, maaf ya aku ninggalin kalian duluan.
          Dulu, kalian pernah bertanya mengapa aku meneteskan air mata ketika aku gembira, tersenyum, dan tertawa, aku akan  menjawabnya sekarang. Aku memiliki penyakit kanker serviks, dan sejak itu aku bertekad tidak akan bersosialisasi pada siapapun kecuali ayah, ibu,dan  Pak Dir. Namun karena kau Rena, aku melanggar tekadku. Akibatnya aku menangis saat aku bahagia, itu karena aku tahu semua ini hanya bersifat sementara dan semua ini pasti akan berakhir . Dan akhirnya benar, semua ini hanya sementara. Aku hanya membebani kalian dengan kepergianku, sudah jangan menangis hanya karenaku.
Nama kalian tetap terukir dihatiku. Elena Mentari Kejora
dan Andreas Yoga Wijaya. Itu kan nama kalian? Makasih ya udah membuatku bahagia sebelum aku pergi. Dan aku minta maaf atas segala kesalahanku terhadap kalian..

Sahabatmu, Rena
Bodoh, bagaimana kami bisa melukapanmu. Namamu pasti juga tetap terukir di hati kami!
Selamat tinggal Rena Silvia Langit..

Selesai




Karya: Dewi Nur Alifah, 14 tahun

Pages

Hargailah Waktu Anda

Statistik

Search

Facebook

Profil

Foto saya
Saya penulis amatir yang tidak bisa menyusun kata kata , hehe :P

Followers

Postingan Populer